Perubahan ruang telah berlangsung sekian lama dan setua sejarah manusia. Tak ada satupun makhluk di muka bumi yang bisa mengubah dan memanfaatkan ruang sedemikian besar selain manusia. Namun yang dimaksud dengan politik perubahan ruang di sini adalah dalam arti spesifik, yaitu pengorganisasian ruang secara politik dan ekonomi oleh kekuatan ekonomi-politik tertentu untuk tujuan tertentu, terutama akumulasi modal. Seiring dengan makin pesatnya pembangunan ekonomi, perubahan ruang berlangsung sangat cepat dan dramatis dalam skala yang sangat luas, menerobos sekat geografis dan administratif negara, yang terjadi di hampir seluruh penjuru bumi. Inilah yang disebut oleh sosiolog Henri Lefebvre sebagai “there is a politics of space because space is political”.[i]
Ruang merupakan medan politik dan ekonomi yang selalu dan akan terus dikontestasikan. Dalam konteks ekonomi, menguasai ruang berarti menguasai peta jalan perluasan akumulasi modal. Ruang menempati posisi penting bagi berlangsungnya ekspansi modal. Modal yang meniscayakan dirinya untuk terus bergerak selalu membutuhkan pengorganisasian dan pengaturan ruang untuk memungkinkan berlangsungnya perluasan geografi akumulasi modal. Karena modal sendiri “bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh”.[ii] Dengan demikian modal tidak boleh mandeg, harus terus bergerak mencari ruang investasi baru mengitari seluruh bola bumi. Para pemilik modal, bersama dengan pemerintah terus bekerjasama agar modal tidak berhenti. Dimana ada peluang bagi investasi, di sanalah modal akan diputar.
Dengan demikian, secara ekonomi, dalam hukum gerak modal, tidak boleh ada modal yang berhenti. Ketika terjadi kelebihan akumulasi (over accumulation) di suatu kawasan, harus segera diinvestasikan ke tempat lainnya yang dianggap kondusif secara politik maupun ekonomi. Motif utamanya bukanlah untuk mewujudkan keadilan sosial, menciptakan kesejahteraan atau kelestarian lingkungan. Melainkan semata-mata agar modal tidak mandeg dan terus tumbuh. Bahkan, bukan pula untuk mengakselerasi kesejahteraan rakyat di perdesaan sebagaimana klaim besar teori “trickle-down effects”. Dimana masyarakat luas dibayangkan secara otomatis mendapat remah-remah dari investasi. Alih-alih mendapat keuntungan material dan non material, masyarakat kerap menjadi pihak yang harus menanggung semua dampak buruk kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi yang sedang berlangsung. Pengalaman negara-negara berkembang sejak diberlakukannya kebijakan pintu terbuka, menunjukkan bahwa GNP per kapita tidak secara otomatis menaikkan tingkat kesejahteraan hidup rakyatnya. Yang terjadi justru sebaliknya, pertumbuhan GNP perkapita di beberapa negara, juga di Indonesia telah menimbulkan penurunan absolut dalam tingkat hidup golongan miskin di perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian, investasi yang menjadi prioritas kerja pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan rakyat, pada tataran empirik tidak terbukti.[iii]
Dalam banyak kasus, investasi berlangsung secara brutal, mengintervensi proses perumusan perundang-undangan, mencemari lingkungan, merampas tanah adat dan mengintimadasi petani. Inilah yang disebut seorang geografer marxis, David Harvey sebagai akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession).[iv] Dengan demikian, reorganisasi ruang yang terjadi dengan sangat cepat dan dalam skala yang sangat luas saat ini membawa konsekuensi lainnya yakni krisis sosial dan ekologis yang harus ditanggung oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan di tengah krisis iklim dan wabah covid-19 seperti sekarang, tidak menghentikan langkah para pemilik modal dan pemerintah negara kelas untuk melakukan perluasan georgrafi akumulasi modal. Padahal bila ditelisik ke belakang, sejak revolusi industri di Inggris hingga sekarang terdapat tendesi umum dalam sistem ekonomi arus utama yang sedang berlangsung adalah penjarahan, penghisapan, perbudakan, dan perusakan lingkungan.[v]
Perluasan geografi akumulasi modal, sekarang mengambil bentuk pembangunan koridor ekonomi, yakni suatu konsep jejaring pembangunan kawasan ekonomi yang menghubungkan para pelaku ekonomi melalui konektifikasi antar kawasan ekonomi.
Secara umum, koridor ekonomi adalah inisiatif pembangunan yang ditargetkan secara geografis dengan membentuk jalur atau rute lalu lintas orang dan barang, dimana efisiensi pergerakan tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Konsep ini mendapatkan popularitasnya pada akhir 1990-an melalui proyek Asian Development Bank (ADB) untuk mengembangkan Greater Mekong Subregion (GMS) di Asia Tenggara. Pejabat ADB, yang menyadari hubungan antara perbaikan infrastruktur dan peningkatan aktivitas ekonomi, memutuskan untuk memfokuskan investasi pada transportasi, energi dan telekomunikasi. Dengan demikian, Bank Pembangunan Asia mempunyai andil yang signifikan dalam keberhasilan penerapan pendekatan pembangunan koridor dengan investasi tahunan sebesar $ 2 miliar lebih.[vi]
Beberapa strategi untuk menciptakan koridor ekonomi, prosesnya—selalu—dimulai dengan menciptakan hubungan transportasi untuk menghubungkan simpul ekonomi utama suatu wilayah kota, zona industri, dan gerbang perdagangan internasional. Ini dapat mencakup rehabilitasi jalan perdesaan, pembangunan trek kereta api berkecepatan tinggi, dan perluasan pelabuhan. Yang juga penting adalah kebijakan yang mendorong bisnis dan memfasilitasi pergerakan orang dan barang. Pembangunan infrastruktur tadi diiringi dengan perombakan perundang-undangan dan perijinan seperti merampingkan prosedur bea cukai, mengurangi tarif impor, menerapkan pembebasan pajak di zona ekonomi khusus, dan memudahkan proses mendirikan dan menutup bisnis. Seiring waktu, peningkatan infrastruktur “keras” dan “lunak” ini diasumsikan dapat mendorong kegiatan ekonomi.
Saat ini, koridor ekonomi telah menerima dukungan luas dari Bank Pembangunan Multilateral (MDB), termasuk ADB, Bank Dunia, Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA), dan Bank Pembangunan Afrika (AfDB).[vii]
Koridor Ekonomi biasanya memiliki tiga komponen pelengkap: koridor transportasi, pusat produksi industri, dan kota. Koridor transportasi berfungsi memfasilitasi arus barang dan jasa. Pusat-pusat industri memproduksi barang-barang untuk konsumsi di Kawasan sekitar dan juga untuk perdagangan internasional. Sedangkan kota menjadi pasar utama untuk konsumsi. Pusat kota di koridor juga menyediakan sumber penting tenaga kerja, teknologi dan inovasi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di level global dan regional, koridor ekonomi yang terbesar saat ini dimotori oleh China melalui apa yang disebut sebagai Belt and Road Initiative. Presiden Xi Jin Ping mengumumkan bahwa ada enam koridor ekonomi yang sedang digarap China, diantaranya adalah Koridor Ekonomi China–Pakistan (CPEC), yang dinyatakan dibuka saat truk pertama bermuatan barang-barang Tiongkok mencapai pelabuhan Gwadar di Pakistan untuk pengiriman internasional, pada November 2016. Menanggapi itu, India dan Jepang telah bekerjasama untuk mengembangkan koridor ekonomi ambisius mereka sendiri: Koridor Pertumbuhan Asia–Afrika.
Seperti kita tahu, studi pembangunan, lingkungan dan agraria, di Indonesia telah banyak meminjam kerangka teoritis yang dikembangkan David Harvey, seorang Ahli geografi Marxis, yang telah menulis secara ekstensif dan berpengaruh tentang produksi ruang di bawah kapitalisme dan, khususnya, perkembangan geografis yang tidak merata. Tidak hanya itu, teori accumulation by dispossession kerap kita jumpai digunakan sebagai analisis dalam banyak kajian agraria dan lingkungan untuk menjelaskan watak investasi yang mewujud dalam ekonomi koridor yang kerap merampas ruang hidup rakyat.
[i] Henri Lefebvre, The Production of Space,
[ii] Teks lengkap David Harvey adalah, modal bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh. Coba periksa apa yang terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 di Kota New York: segala sesuatunya mandek. Pesawat-pesawat berhenti terbang, jembatan dan jalanan ditutup. Setelah sekitar tiga hari, orang-orang sadar bahwa kapitalisme akan runtuh jika situasi tidak bergerak lagi. Maka tiba-tiba, Walikota Giuliani dan Presiden Bush memohon kepada publik untuk mengeluarkan kartu kredit mereka dan pergi belanja, kembali menonton Broadway, mendatangi lagi restoran-restoran. Bush bahkan muncul di sebuah iklan televisi dari industri penerbangan dan menyemangati orang-orang Amerika untuk terbang lagi. Tidak ada kapitalisme tanpa gerak. Lihat. David Harvey, A Companion to Marx’s Capital, (London: Verso, 2010), hal. 12.
[iii] Mengenai ketimpangan ekonomi, lihat Sritua Arief, Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi, Disparitas Pendapatan dan Kemiskinan Massal, terutama bab 1, tentang “Pertumbuhan Ekonomi, Pembagian Pendapatan dan Tingkat Hidup di Negara-Negara yang Sedang Berkembang” (Sritua Arief Assocites, tanpa tahun), Wolfgang Sachs, Kritik Atas Pembangunanisme: Telaah Pengetahuan Sebagai Alat Penguasaan, (Jakarta: Penerbit CPSM, 1995), Rita Abrahamsen, Disciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa, (London: Zed Book, 2000), dan Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin America: Historical Studies of Chile and Brazil, (England: Penguin Books Ltd, 1971). Juga Fernando Henrique Cardoso dan Faletto Enzo, Dependency and Development in Latin America, (University of California Press, 1979).
[iv] Lebih lengkap lihat David Harvey, The Limits of Capital, (Oxford: Blackwell Publisher, 1982).
[v] Lihat. Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, (Boston: Beacon Press, 1957), dan Fred Magdoff & John Bellamy Foster, What Every Environmentalist to Know About Capitalism: A Citizen’s Guide to Capitalism and the Environment, (New York: Monthly Review Press, 2011).
[vi] Lebih rinci lihat Hans-Peter Brunner, “ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration”, What is Economic Corridor Development and What Can It Achieve in Asia’s Subregions? dokumen ADB No. 117, Agustus 2013. Link pdf
[vii] https://reconnectingasia.csis.org/analysis/entries/what-economic-corridor/ diakses pada 15 agustus 2022.
Dalam kesempatakan kali ini, kita akan mengulas pemikiran Harvey mengenai reorganisasi ruang akumulasi kapital, kontradiksi internal kapital, konsep pembangunan tidak seimbang secara geografis, proyek neoliberalisme dls, sebagai piranti menganalisis kebijakan ekonomi koridor di Indonesia.
Materi Sesi 1
Konstruksi RUANG-WAKTU dalam Kapitalisme
Materi Sesi 2
Teori Uneven Geographical Development
Materi Sesi 3
Neoliberalisme dan Ekonomi Koidor
Materi Sesi 4
Catatan kritis atas pemikiran Harvey
Kelas masih dibuka, kelas berlangsung mulai 5 November 2022 (diperpanjang) 12 November 2022, setiap Sabtu Jam 10:00 wib (kecuali 12 Nov'22 berlangsung Jam 13:00 wib)
Biaya pendaftaran Rp 375.000, segera daftar sebelum 11 November 2022 (diperpanjang).
Formulir Pendaftaran