Pengantar:
Setiap kali Prabowo Subianto mencalonkan dirinya sebagai kandidat presiden dalam pemilihan presiden lima tahunan, setiap kali itu pula muncul kampanye dan ajakan untuk tidak memilihnya karena ia adalah seorang FASIS. Latar belakang Prabowo yang seorang pensiunan jenderal militer dengan rekam jejak yang kejam dan brutal selama ia bertugas sebagai militer aktif, dijadikan sebagai bukti keakuratan tudingan fasis terhadapnya.
Fenomena Prabowo ini bukanlah khas Indonesia, melainkan sebuah gejala global. Pada 22 Juli 2011, misalnya, dunia dikejutkan oleh penembakan brutal yang dilakukan oleh Anders Behring Breivik, di Norwegia. 77 orang meninggal akibat penembakan yang berlokasi di perkemahan musim panas pemuda Partai Buruh di pulau Otoya, Oslo itu. Breivik dalam manifesto setebal 1.500 halaman yang berjudul 2083: An European Declaration of Independence menuduh bahwa para pemuda yang terlibat dalam perkemahan musim panas itu sebagai pengkhianat, karena mereka mendukung kebijakan imigrasi yang mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “kolonisasi Islam atas Norwegia”.
Sejak saat itu, negara-negara di Eropa Barat, Amerika Serikat dan juga dunia, mulai menyaksikan bangkitnya gerakan politik kanan-jauh (far-right). Pada 2018, paling tidak delapan negara di Uni Eropa, yakni Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Italia, Polandia, Hungaria, dan Slovakia, dipimpin oleh partai-partai kanan-jauh, nasionalis, dan xenofobik. Partai-partai ini juga memolarisasi lanskap politik di tiga negara utama Uni Eropa: di Prancis, Front National pimpinan Marine Le Pen memperoleh suara yang cukup tinggi, 33,9 persen dalam pemilu; di Italia, Lega Nord menjadi kekuatan hegemonik dalam front sayap-kanan dan kemudian membentuk sebuah pemerintahan baru, meminggirkan Forza Italia pimpinan Silvio berlusconi; dan di Jerman, Die Alternative für Deutschland, mendapatkan kursi di parlemen (Bundestag) dengan perolehan suara sebanyak 13 persen. Di Inggris menguatnya politik kanan jauh ini ditandai oleh keluarnya negara itu dari Uni Eropa (Brexit) pada 2016 melalui referendum, dengan penggagas utamanya politisi sayap kanan Nigel Paul Farage.
Puncak dari kebangkitan kekuatan kanan-jauh ini adalah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada 2016. Dengan terpilihnya Trump di sebuah negara super power ini, maka kekuatan politik kanan-jauh yang semula hanya bersifat nasional kini telah menjadi sebuah fenomena global. Tak lama setelahnya, Jair Messias Bolsonaro, seorang mantan perwira militer terpilih sebagai presiden Brazil pada pemilu presiden 2018. Kemenangan Bolsonaro, yang memiliki aspirasi politik yang mirip dengan Trump, dianggap penanda terjadinya pergeseran haluan politik Amerika Latin yang lebih dari satu dekade didominasi oleh spektrum politik Kiri melalui apa yang terkenal dengan istilah Pink Revolution.
Di Asia, politik kanan-jauh juga sukses merebut kekuasaan negara di beberapa tempat: Narendra Modi dan BJP (Bharatiya Janata Party di India, serta Rodrigo Duterte di Filipina. Politik kanan-jauh yang berbentuk gerakan, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Di belahan dunia Islam (termasuk Indonesia), kekuatan-kekuatan politik kanan-jauh berbasis agama tumbuh berkecambah bak cendawan di musim hujan. Yang paling terkenal, misalnya, adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
Fenomena kebangkitan gerakan politik kanan-jauh ini kemudian membuat banyak kalangan, khususnya para sarjana, komentator politik, dan media massa membandingkannya dengan gerakan politik fasistik di masa perang tahun 1930an. Dalam satu atau banyak cirinya, gerakan-gerakan kanan-jauh kontemporer ini dianggap mirip dengan gerakan fasisme ala Benito Mussolini di Italia atau Nazi-Hitler di Jerman. Bermunculan istilah-istilah semacam neo-Nazi, neo-fasisme, populisme, post-fasisme, fasisme-Islam, populisme-Islam dan atau radikal-Islam untuk menyebut ideologi, gerakan dan rejim dari gerakan-gerakan kanan-jauh ini.
Tetapi, apakah benar gerakan-gerakan ini bisa kita sebut sebagai gerakan fasis? Apakah benar bahwa Prabowo Subianto adalah seorang fasis? Jikalau tidak, lalu lebih tepat ia disebut apa? Dalam konteks gerakan kanan jauh, apa sebenarnya watak dari gerakan-gerakan ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba di jawab dalam kelas ini.
Minggu I: Fasisme: Definisi dan Asal-usulnya.
Di pertemuan ini kita akan mendiskusikan:
Minggu II: Post-Fasisme: Definisi dan Asal-usul Kemunculannya
Di pertemuan ini akan didiskusikan:
Minggu III: Sejarah Fasisme di Indonesia
Di pertemuan ini akan didiskusikan:
Minggu IV. Basis Sosial Pendukung Fasisme dan Post-Fasisme
Di pertemuan ini akan didiskusikan:
Kelas masih dibuka, kelas berlangsung mulai 17 Februari 2024 - 9 Maret 2024, setiap Sabtu Jam 10:00 WIB.
Biaya pendaftaran Rp400.000, segera daftar sebelum 15 Februari 2024.
Para Peserta akan mendapatkan reward berupa Buku 1 terbitan Indoprogress, juga termasuk sertifikat dari Indoprogress Institute for Social Research and Education"
Formulir Pendaftaran